Komposit
semen, seperti beton bertulang yang matriksnya terbuat dari campuran semen
dengan penguat fiber baja modulus tinggi, merupakan material konstruksi yang
paling banyak digunakan karena harganya yang ekonomis dan mampu kerjanya yang
tinggi. Konsumsi dunia terhadap beton bertulang kini terus meningkat seiring
dengan pesatnya perkembangan kebutuhan konstruksi. Oleh karena itu, peningkatan
dan pengetahuan dasar tentang sifat mekanis dan daya tahan material berbasis beton
bertulang menjadi penting untuk diketahui. Design dan prediksi kekuatan dari
beton selama ini dilakukan berdasarkan kriteria kekuatannya yang didasari
aturan stress-strain dan teori perpatahan.
Walau begitu, konsep ini kebanyakan
berlaku untuk beton tanpa penguat, mengingat formulasi dan pendekatan pasti
sulit dilakukan terhadap beton bertulang karena sifat heterogen pada material
ini yang pertumbuhan retaknya ditentukan oleh ketangguhan beton dan elastisitas
baja penguat. Masalah ini juga diperparah oleh kehadiran bond-slip antara beton
dan batang penguat.
Selain itu, pengujian pada beton
bertulang menunjukkan adanya pertumbuhan retak yang stabil. Dimana pertumbuhan
progresif retak selalu diikuti oleh pertambahan beban, yang mengindikasi
terjadinya insensitifitas patahan (fracture insensitivity). Berkurangnya beban
pada beton bertulang sebagian besar dipengaruhi oleh kekuatan beton, dimana
kekuatan beton sendiri dipengaruhi oleh jumlah baja dan dimensi batangan benda.
Fracture insensitivity yang terjadi membuat baja bertulang tidak bisa
dikarakterisasi menggunakan teori perpatahan untuk mengetahui sifat dan
mekanisme perpatahannya, tapi menggunakan teori kekuatan.
Namun, untuk beberapa situasi beton
bertulang menunjukkan adanya sensitifitas patahan (fracture sensitivity atau
notch sensitivity), yaitu kegagalan yang terjadi karena adanya propagasi retak.
Seperti pada batangan dengan penguat sangat ringan dan yang terbuat dari beton
kekuatan sangat tinggi. Untuk kondisi seperti ini, teori kekuatan juga gagal
dalam memprediksi secara akurat mekanisme pertumbuhan retak di bawah level
beban sub-kritis.
Saat ukuran struktural bertambah,
material bertambah getas dan kegagalan akhir lebih bisa dikarakterisasi dengan
parameter mekanisme perpatahan. Saat ukuran struktural semakin kecil,
pencapaian UTS menyebabkan kegagalan akhir. Sehingga, penggetasan terjadi
dengan bertambahnya ukuran struktural benda. Beberapa penelitian telah
menganalisa sifat retak dalam komposit beton bertulang, diantaranya yaitu:
derajat kelicinan dari batangan baja karena sebuah retak, perpatahan shear,
kriteria perpatahan campuran, dan pengaruh penguat terhadap energi perpatahan
menghasilkan spesimens-DCB yang sangat besar dalam kondisi pre-stressed.
Formulasi dari sensitivitas dan stabilitas perpatahan dalam komposit semen
berpenguat dapat dijelaskan dengan laws
of scale. Efek sensitifitas notch dalam pengujian perpatahan dari material
dengan agregat dan berbagai ukuran retak terjadi karena koeksistensi dari dua
mode kegagalan yang disebabkan oleh generalisasi tekanan dengan dimensi fisik
berbeda, [] = [FL-2] dan [K1] = [FL-3/2],
dan karena ukuran spesimen terbatas.
Fracture sensitivity adalah fenomena
biasa yang mudah temui di kehidupan sehari-hari. Contohnya pada isolasi dan
kain perekat, yang merupakan material dengan fracture sensitivity tinggi.
Dibutuhkan stress yang besar untuk merobeknya, tapi hanya butuh stress sangat
kecil kalau ada takik awal walaupun sangat kecil ukurannya. Hal ini bisa
terjadi karena rasio KIC/ u
yang rendah, membuat material menjadi notc-sensitive walau pun dengan lebar
benda sekecil isolasi sekali pun. Jika material memiliki rasio lebih besar,
seperti beton atau paduan baja, situasi serupa bisa terjadi hanya saja dengan
ukuran benda yang sangat besar, untuk menghasilkan nilai kegetasan yang serupa.
Stabilitas dari proses perpatahan
umumnya terjadi akibat beban kompresif atau redundancy dengan derajat terlalu
besar. Elemen yang menyebabkan ini biasanya adalah fiber atau batangan penguat.
Stabilitas dari proses perpatahan sebuah beton bertulang dan aliran plastis
baja bergantung pada sifat mekanis dan geometri (scale) dari batangan balok.
Sebuah beton bertulang yang diberi beban monotonik, lalu diberi beban berulang,
memberi kecenderungan untuk bergetar dan efek hysteretic karena terjadinya perpatahan matriks beton dan yielding
dari baja penguat. Stabilitas sebuah retak pada beton bertulang dibawah
pengaruh beban fatik dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut, antara lain
rasio penguat, ukuran spesimen, grade beton, sifat perpatahan, dan perilaku
on-tension-softening
Gambar
1. Cracked
reinforced beam element
Proses
perpatahan pada beton bertulang akan menjadi stabil hanya saat batangan balok sudah
cukup diperkuat atau saat luas penampang cukup besar dan retak cukup dalam.
Stabilitas perpatahan bertambah apabila lebar balok dan luas permukaan baja
penguat meningkat. Atau dengan kata lain, semakin berjarak penguat (reinforced)
dalam sebuah panel (semakin besar area penguat tunggal), akan semakin stabil
proses perpatahan yang terjadi dalam komposit beton bertulang.
Jadi, kesalahan pertama yang harus
dihindari pada komposit beton bertulang adalah mendesain dan menguji struktur
dengan ukuran tertentu tanpa memperhatikan mode kegagalan paling berbahaya,
yaitu perpatahan. Akan sangat baik apabila bisa menghindari instabilitas
kegagalan dalam kasus struktur yang ramping. Kesalahan kedua untuk dihindari
adalah percaya bahwa parameter perpatahan kritis tertentu bisa didapat dari
spesimen dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Dengan kata lain, kita tidak
bisa menganggap data hasil pengujian dari spesimen yang kecil, walaupun terbuat
dari material yang sama, akan terjadi juga pada struktur benda berukuran besar.
Karena dengan bertambahnya ukuran benda, kegetasan juga bertambah dan transisi
dari kegagalan plastis (atau dari UTS) ke kegagalan karena pemisahan benda
terjadi. Berdasarkan hal ini, maka dapat dipahami bahwa dengan bertambah
besarnya ukuran maka kekuatan sebuah benda akan berkurang.