Polimer
merupakan material yang sering dijadikan matriks dalam komposit. Ada dua alasan
utama, yaitu sifat mekanis polimer yang kurang baik untuk penggunaan struktural
sehingga perlu ditingkatkan dan proses manufaktur komposit berbasis polimer
(PMC) tidak memerlukan temperatur tinggi ataupun tekanan tinggi. Degradasi reinforce selama proses fabrikasi lebih
jarang terjadi pada matriks polimer dibanding komposit matriks lain. Oleh sebab
itu, PMC berkembang sangat pesat dan cepat diterima dalam aplikasi struktural.
Bahkan kini, glass-reinforced-polymer
adalah material yang paling banyak dipakai untuk aplikasi struktural setelah
beton. Dari tiga jenis matriks PMC yang
ada (termoset, termoplastik, dan rubber) tiga per empat-nya adalah polimer
termoset. Salah satu PMC termoset yang memiliki sifat unggul yang tidak
dimiliki PMC lainnya adalah carbon-reinforce-epoxy polymer. Komposit
carbon/epoxy ini memiliki sifat koefisien termal yang sangat rendah dan matriks
epoxy tahan terhadap radiasi.
Nanopartikel inorganik, telah lama
dijadikan sebagain material reinforced
selain karena harganya murah proses fabrikasinya juga mudah. Banyak penelitian
mencoba meningkatkan sifat resin epoxy dengan menambahkan nanoclay. Ada yang
berhasil memfungsikan permukaan layered-inorganic
silica menjadi kompatibel terhadap epoxy. Dengan menambahkan organophilic montmorillonite ke Diglycidylether dari Bhisphenol A (DGEBA), kekuatan tarik dan
modulus epoxy meningkat secara signifikan. Peningkatan ini lebih jelas terlihat
apabila kekuatan dan modulus awal dari epoxy rendah. Penelitian lain
mendapatkan bahwa gaya elastis yang tercipta dalam clay saat curing epoxy
menimbulkan derajat eksfoliasi sruktur nanoclay yang terdispersi dalam matriks
epoxy sehingga terjadi peningkatan sifat material. Beberapa penelitian lain
menunjukkan bahwa peningkatan sifat dan performa dari matriks polimer bisa
dicapai dengan kehadiran partikel berukuran nano atau skala mikro, yang dapat
digolongkan menjadi empat, yaitu teknologi inorganic
layered clay, single walled dan multi-walled carbon nanotube, teknologi carbon nanofiber, dan teknologi metal-particle.
Peningkatan sifat resin epoxy
berpengaruh pada peningkatan sifat akhir komposit carbon/epoxy. Konsep La PolynanoGrESS (Layered Polynanomeric Graphite Epoxy Scaled System) menerapkan efek
nanopartikel ke matriks epoxy dalam komposit continues-carbon fiber reinforced, dan menunjukkan bahwa fracture toughness dan sifat mekanis meningkat dengan penambahan logam atau
partikel inorganik. Selanjutnya pembahasan tentang peningkatan sifat thermal
dan flexural dari komposit carbon/epoxy yang diberi nanoclay hasil fabrikasi
hand-layup akan dibahas secara mendetail. Metode hand-layup cukup mudah
dilakukan dan alat yag dibutuhkan juga sedikit sehingga prosesnya cukup murah.
Namun, kadar reinforced yang bisa terlarut hanya sekitar 30% dan sulit untuk
menghilangkan udara yang terperangkap sehingga sifat mekanisnya tidak terlalu baik
dibanding proses lain.
Nanoclay dengan struktur platelet
selain murah juga memiliki dimensi yang unik. Tebal hanya 1 nm, sedangkan
panjang atau lebarnya bervariasi bisa 300-1000 nm. Komposit carbon/epoxy dibuat
dengan menyiapkan resin terlebih dahulu. Nanoclay yang mudah menyerap
kelembaban udara dipanaskan pada 100oC selama 2 jam sebelum dicampur
dengan resin epoxy menggunakan teknik ultrasonic
cavitation. Untuk hasil pencampuran yang baik, suhu pengadukan dijaga
konstan 40-50oC. Setelah selesai, campuran homogen tadi didinginkan
ke temperatur ruang untuk selanjutnya dicampur dengan hardener dengan rasio
10:3 menggunakan high speed mechanical
stirrer selama 5 menit. Udara yang terperangkan dalam campuran resin akibat
pengadukan mekanis dihilangkan dengan pompa vacum selama 30 menit.
Komposit carbon/epoxy kemudian
dibuat dengan teknik hand-layup. Lembaran non-poros Teflon menjadi
alas panel layup dan di taruhi carbon-fabric. Campuran resin hasil proses
sebelumnya dituang diatas lapisan tadi dan diratakan dengan rol. Sehingga
terjadi proses pembasahan resin dengan carbon-fabric dan lebihan resin tergeser
keluar daerah panel layup. Panel yang telah tersusun lalu ditutup dengan
lembaran non-poros Teflon. Untuk memberi hasil permukaan yang baik, diletakkan
pelat aluminium di atasnya. Panel layup kemudian di vakum dan di-curing selama 24 jam di
temperatur ruang.
Panel
yang telah siap lalu di-machining untuk dijadikan sampel karakterisasi termal
dan mekanis. Sampel di-post-curing pada 100oC selama 5 jam dalam
oven konveksi mekanis untuk kemudian dipelajari efek post-curing-nya. Dengan
metode matix-digestion (ASTM D 3171-99), bisa dihitung fraksi volum fiber dan void
untuk masing-masing sampel. Sampel dilarutkan
dalam 80% asam nitrat di suhu 75oC selama 5 jam hingga matriks
terlarut dan hanya meninggalkan fiber saja. Fiber dicuci dengan acetone dan
dikeringkan selama 1 jam di suhu 100oC untuk ditimbang beratnya.
Ternyata dengan penambaha nanoclay, jumlah void dapat dikurangi dan pada 3%
nanoclay volum fiber mencapai 56%.
Sedangkan
untuk sifat bulk kekakuan dan kekuatan carbon/poxy nanokomposit, bisa didapat
dari pengujian 3-point bend flexure (ASTM D 790-02) yang menghasilkan kurva
flexural stress - strain dimana kemiringan kurva adalah modulus flexural.
Perlakuan curing di temperatur ruang menghasilkan kekuatan flexural yang lebih
baik dibanding perlakuan post curing. Dimana
untuk 2% nanoclay, kekuatan dan modulus flexural meningkat sebesar 25% dan 22%.
Sedangkan peningkatan kekuatan dan modulus flexural
sebesar 31% dan 21%. Namun, post curing tidak mempengaruhi nilai modulus
flexural yang rata-rata besarnya tetap untuk tiap perlakuan curing.
Dari
permukaan patahan sampel hasil uji flexural yang dikarakterisasi menggunakan SEM,
didapatkan terjadinya fiber pullout pada sampel tanpa nanoclay, yang menandakan
buruknya pembasahan fiber-matriks. Sedangkan pada 1% dan 2% nanoclay kegagalan
terjadi dengan patahnya fiber yang menandakan ikatan yang baik antara
fiber-matriks. Dari Gambar 1 terlihat patahan pada sampel kontrol lebih lebar
dibanding sampel denga nanoclay. Pada sampel 3% nanoclay, fiber pullout kembali
terjadi di bagian tarik sedangkan karakteristik kink band terlihat di bagian
kompresi dari sampel hasil uji flexural, yang merupakan ciri kegagalan untuk
fiber yang getas seperti karbon.
Gambar
3. Hasil
SEM sampel uji flexural (a) tanpa nanoclay; (b) 1% nanoclay; (c) 2% nanoclay;
(d) 3% nanoclay; (e) microbuckling menimbulkan kink zone pada sampel 3%
nanoclay
Sifat
thermal diuji menggunakan Dynamic Mechanical Analysis (DMA) berdasarkan ASTM D
4065-01, dengan laju pemanasan 3oC/menit dari 35-150oC.
Data yang di dapat berupa storage modulus, yang mengindikasi respon
elastis dinamis sampel; loss modulus, yang mengindikasi respon
dinamis plastis sampel; dan tan , yang merupakan rasio loss
modulus/storage modulus.
Hasil uji berupa kurva storage
modulus - temperatur, memperlihatkan kenaikkan storage modulus dan loss modulus
hingga 2% nanoclay untuk kedua jenis sampel curing. Daerah kemiringan pada
kurva menunjukkan batas temperatur transisi gelas (Tg), dimana di atas daerah
ini merupakan temperatur operasi dan di bawa Tg adalah daerah rubbery.
Kehadiran nanoclay tidak mempengaruhi Tg untuk kedua sampel curing, akan tetapi
perlakuan post curing memberikan Tg lebih besar dibanding curing pada
temperatur ruang. Hasil peak tan juga menunjukkan tidak adanya perubahan Tg
pada penambahan nanoclay. Sehingga temperatur operasional komposit carbon/epoxy
yang di post curing bisa lebih tinggi. Maka, dapat disimpulkan bahwa perubahan
sifat mekanis bukan disebabkan oleh perubahan struktur network polimer
melainkan lebih karena kehadiran partikel nanoclay.
Jadi, untuk mendapatkan sifat flexural dan
thermal yang baik pada komposit carbon/epoxy, dapat dilakukan dengan memperbaiki
ikatan fiber-matriks melalui penambahan unsur, seperti nanoclay, yang meningkatkan
sifat adhesi fiber-matriks pada komposit carbon/epoxy.