11.04.2011

Investigations on The Thermal and Flexural Properties of Carbon/Epoxy


       Polimer merupakan material yang sering dijadikan matriks dalam komposit. Ada dua alasan utama, yaitu sifat mekanis polimer yang kurang baik untuk penggunaan struktural sehingga perlu ditingkatkan dan proses manufaktur komposit berbasis polimer (PMC) tidak memerlukan temperatur tinggi ataupun tekanan tinggi. Degradasi reinforce selama proses fabrikasi lebih jarang terjadi pada matriks polimer dibanding komposit matriks lain. Oleh sebab itu, PMC berkembang sangat pesat dan cepat diterima dalam aplikasi struktural. Bahkan kini, glass-reinforced-polymer adalah material yang paling banyak dipakai untuk aplikasi struktural setelah beton. Dari tiga jenis matriks PMC  yang ada (termoset, termoplastik, dan rubber) tiga per empat-nya adalah polimer termoset. Salah satu PMC termoset yang memiliki sifat unggul yang tidak dimiliki PMC lainnya adalah carbon-reinforce-epoxy polymer. Komposit carbon/epoxy ini memiliki sifat koefisien termal yang sangat rendah dan matriks epoxy tahan terhadap radiasi.
       Nanopartikel inorganik, telah lama dijadikan sebagain material reinforced selain karena harganya murah proses fabrikasinya juga mudah. Banyak penelitian mencoba meningkatkan sifat resin epoxy dengan menambahkan nanoclay. Ada yang berhasil memfungsikan permukaan layered-inorganic silica menjadi kompatibel terhadap epoxy. Dengan menambahkan organophilic montmorillonite ke Diglycidylether dari Bhisphenol A (DGEBA), kekuatan tarik dan modulus epoxy meningkat secara signifikan. Peningkatan ini lebih jelas terlihat apabila kekuatan dan modulus awal dari epoxy rendah. Penelitian lain mendapatkan bahwa gaya elastis yang tercipta dalam clay saat curing epoxy menimbulkan derajat eksfoliasi sruktur nanoclay yang terdispersi dalam matriks epoxy sehingga terjadi peningkatan sifat material. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa peningkatan sifat dan performa dari matriks polimer bisa dicapai dengan kehadiran partikel berukuran nano atau skala mikro, yang dapat digolongkan menjadi empat, yaitu teknologi inorganic layered clay, single walled dan multi-walled carbon nanotube, teknologi carbon nanofiber, dan teknologi metal-particle.
       Peningkatan sifat resin epoxy berpengaruh pada peningkatan sifat akhir komposit carbon/epoxy. Konsep La PolynanoGrESS (Layered Polynanomeric Graphite Epoxy Scaled System) menerapkan efek nanopartikel ke matriks epoxy dalam komposit continues-carbon fiber reinforced, dan menunjukkan bahwa fracture toughness dan sifat mekanis meningkat dengan penambahan logam atau partikel inorganik. Selanjutnya pembahasan tentang peningkatan sifat thermal dan flexural dari komposit carbon/epoxy yang diberi nanoclay hasil fabrikasi hand-layup akan dibahas secara mendetail. Metode hand-layup cukup mudah dilakukan dan alat yag dibutuhkan juga sedikit sehingga prosesnya cukup murah. Namun, kadar reinforced yang bisa terlarut hanya sekitar 30% dan sulit untuk menghilangkan udara yang terperangkap sehingga sifat mekanisnya tidak terlalu baik dibanding proses lain.
       Nanoclay dengan struktur platelet selain murah juga memiliki dimensi yang unik. Tebal hanya 1 nm, sedangkan panjang atau lebarnya bervariasi bisa 300-1000 nm. Komposit carbon/epoxy dibuat dengan menyiapkan resin terlebih dahulu. Nanoclay yang mudah menyerap kelembaban udara dipanaskan pada 100oC selama 2 jam sebelum dicampur dengan resin epoxy menggunakan teknik ultrasonic cavitation. Untuk hasil pencampuran yang baik, suhu pengadukan dijaga konstan 40-50oC. Setelah selesai, campuran homogen tadi didinginkan ke temperatur ruang untuk selanjutnya dicampur dengan hardener dengan rasio 10:3 menggunakan high speed mechanical stirrer selama 5 menit. Udara yang terperangkan dalam campuran resin akibat pengadukan mekanis dihilangkan dengan pompa vacum selama 30 menit.
       Komposit carbon/epoxy kemudian dibuat dengan teknik hand-layup. Lembaran non-poros Teflon menjadi alas panel layup dan di taruhi carbon-fabric. Campuran resin hasil proses sebelumnya dituang diatas lapisan tadi dan diratakan dengan rol. Sehingga terjadi proses pembasahan resin dengan carbon-fabric dan lebihan resin tergeser keluar daerah panel layup. Panel yang telah tersusun lalu ditutup dengan lembaran non-poros Teflon. Untuk memberi hasil permukaan yang baik, diletakkan pelat aluminium di atasnya. Panel layup kemudian di vakum dan di-curing selama 24 jam di temperatur ruang.
       Panel yang telah siap lalu di-machining untuk dijadikan sampel karakterisasi termal dan mekanis. Sampel di-post-curing pada 100oC selama 5 jam dalam oven konveksi mekanis untuk kemudian dipelajari efek post-curing-nya. Dengan metode matix-digestion (ASTM D 3171-99), bisa dihitung fraksi volum fiber dan void untuk masing-masing sampel. Sampel dilarutkan dalam 80% asam nitrat di suhu 75oC selama 5 jam hingga matriks terlarut dan hanya meninggalkan fiber saja. Fiber dicuci dengan acetone dan dikeringkan selama 1 jam di suhu 100oC untuk ditimbang beratnya. Ternyata dengan penambaha nanoclay, jumlah void dapat dikurangi dan pada 3% nanoclay volum fiber mencapai 56%.
       Sedangkan untuk sifat bulk kekakuan dan kekuatan carbon/poxy nanokomposit, bisa didapat dari pengujian 3-point bend flexure (ASTM D 790-02) yang menghasilkan kurva flexural stress - strain dimana kemiringan kurva adalah modulus flexural. Perlakuan curing di temperatur ruang menghasilkan kekuatan flexural yang lebih baik dibanding perlakuan post curing. Dimana untuk 2% nanoclay, kekuatan dan modulus flexural meningkat sebesar 25% dan 22%. Sedangkan peningkatan kekuatan dan modulus flexural sebesar 31% dan 21%. Namun, post curing tidak mempengaruhi nilai modulus flexural yang rata-rata besarnya tetap untuk tiap perlakuan curing.
       Dari permukaan patahan sampel hasil uji flexural yang dikarakterisasi menggunakan SEM, didapatkan terjadinya fiber pullout pada sampel tanpa nanoclay, yang menandakan buruknya pembasahan fiber-matriks. Sedangkan pada 1% dan 2% nanoclay kegagalan terjadi dengan patahnya fiber yang menandakan ikatan yang baik antara fiber-matriks. Dari Gambar 1 terlihat patahan pada sampel kontrol lebih lebar dibanding sampel denga nanoclay. Pada sampel 3% nanoclay, fiber pullout kembali terjadi di bagian tarik sedangkan karakteristik kink band terlihat di bagian kompresi dari sampel hasil uji flexural, yang merupakan ciri kegagalan untuk fiber yang getas seperti karbon.
Gambar 3. Hasil SEM sampel uji flexural (a) tanpa nanoclay; (b) 1% nanoclay; (c) 2% nanoclay; (d) 3% nanoclay; (e) microbuckling menimbulkan kink zone pada sampel 3% nanoclay
           Sifat thermal diuji menggunakan Dynamic Mechanical Analysis (DMA) berdasarkan ASTM D 4065-01, dengan laju pemanasan 3oC/menit dari 35-150oC. Data yang di dapat berupa storage modulus, yang mengindikasi respon elastis dinamis sampel; loss modulus, yang mengindikasi respon dinamis plastis sampel; dan tan , yang merupakan rasio loss modulus/storage modulus.
       Hasil uji berupa kurva storage modulus - temperatur, memperlihatkan kenaikkan storage modulus dan loss modulus hingga 2% nanoclay untuk kedua jenis sampel curing. Daerah kemiringan pada kurva menunjukkan batas temperatur transisi gelas (Tg), dimana di atas daerah ini merupakan temperatur operasi dan di bawa Tg adalah daerah rubbery. Kehadiran nanoclay tidak mempengaruhi Tg untuk kedua sampel curing, akan tetapi perlakuan post curing memberikan Tg lebih besar dibanding curing pada temperatur ruang. Hasil peak tan  juga menunjukkan tidak adanya perubahan Tg pada penambahan nanoclay. Sehingga temperatur operasional komposit carbon/epoxy yang di post curing bisa lebih tinggi. Maka, dapat disimpulkan bahwa perubahan sifat mekanis bukan disebabkan oleh perubahan struktur network polimer melainkan lebih karena kehadiran partikel nanoclay.
         Jadi, untuk mendapatkan sifat flexural dan thermal yang baik pada komposit carbon/epoxy, dapat dilakukan dengan memperbaiki ikatan fiber-matriks melalui penambahan unsur, seperti nanoclay, yang meningkatkan sifat adhesi fiber-matriks pada komposit carbon/epoxy.  






 

Copyright © 2013 Materials Today | PSD Design by ©lollasta