Akibat sifat tahan korosinya yang sangat
baik, alumunium digunakan secara luas di berbagai lingkungan atmosferik, fresh water, seawater, tanah
dan kimia juga makanan. Contohnya di bidang transportasi seperti tank, jalan
kereta api, subway cars, industri minuman kaleng, dan
industri kimia seperti piping, barges (bagian bawah kapal), reaction vessels, dan kolom distilasi. Sifat ketahanan korosi yang sangat
baik ini disebabkan oleh kemampuannya membentuk lapisan oksida pasif
dipermukaan yang sangat stabil. Jika lapisan ini rusak atau tergores, akan
dengan cepat memperbaiki diri dengan membentuk lapisan baru sehingga permukaan
alumunium terhindar dari kontak dengan lingkungan korosif.
Korosi
baru akan terjadi bila lapisan pasif ini tidak dapat terbentuk karena kondisi
lingkungan tertentu. Seperti lingkungan air di atas temperatur 230oC,
dan larutan aqueous yang akan
melarutkan oksidanya menghasilkan ion Al3+ di asam dan AlO2-
di basa. Ketahanan korosi paduan alumunium sangat tergantung dari jenis
paduannya yang dapat mempengaruhi mikrostruktur dan dapat membentuk fase
tambahan, solid solution atau lainnya. Studi tentang efek ketahanan korosi
terhadap besar butir sangat sulit dilakukan karena untuk memperkecil butir
dibutuhkan perlakuan tambahan seperti penambahan grain refinement atau heat treatment
yang bisa merubah sifat fisik dan kimia logam. Jadi, hubungan ketahanan korosi
yang didapat merupakan gabungan dari semua perlakuan yang diberikan bukan hanya
batas butir saja.
Walau
begitu, efek ukuran butir terhadap ketahanan korosi sangat sedikit sekali.
Berdasarkan studi yang ada, kebanyakan menyimpulkan bahwa pada alumunium murni,
ketahanan korosi akan meningkat dengan bertambahnya kemurnian dan berkurangnya
ukuran butir. Ketahanan korosi pada alumunium yang sedikit dipengaruhi oleh
ukuran butir adalah jenis SCC (stress
corrosion cracking) yang termasuk korosi intergranular. Ada tiga faktor utama
yang menyebabkan terjadinya SCC, yaitu adanya lingkungan korosif, tensile stress, dan material terkorosi. SCC pada alumunium terjadi karena
batas butir bersifat lebih anodik (perbedaan potensial) dari daerah lainnya
dalam mikrostruktur alumunium. Sehingga korosi akan terjadi di sepanjang batas
butir tanpa menyerang butir itu sendiri.
Menurut
Burleigh[1]
ada tiga mekanisme SCC di alumunium, yaitu pelarutan anodik, hydrogen induced cracking (HIC),
dan rusaknya pasif film. Sifat alumunium dan senyawa intermetaliknya yang
sangat aktif membatnya mudah mengalami SCC saat ada presipitat yang
bersegregasi di batas butir. Contohnya pada paduan 5xxx (AlMg), yang membentuk
senyawa Mg2Al8 yang sangat aktif dan terkorosi di batas butir. Atau pada
alumunium paduan tembaga, mengingant ion Cu sangat mudah larut dalam aqueous juga
pada Al-Cu (2024) dan Al-Zn-Mg-Cu (7075), daerah copper-depleted zone di sebelah persipitat batas butir
adalah yang paling mudah terserang secara anodik.
Dengan
penambahan grain refinement yang mengurangi ukuran butir, jarak pita slip bisa
dikurangi sehingga bidang slip (slip = deformasi plastis karena
pergerakan dislokasi) bersifat lebih homogen. Slip yang homogen, secara efektif mengurangi perpindahan hidrogen
ke batas butir yang kehadirannya menyebabkan terjadinya cracking karena adanya pergerakan dislokasi. Jadi, ketahanan terhadap SCC dapat meningkat dengan
tidak terjadinya hidrogen embrittlement atau HIC.
Ketahanan
alumunium casting terhadap SCC cukup
tinggi, seperti pada seri 4xx.x (Al-Si), 3xx.x (Al-Si-Mg), 5xx.x (Mg < 8%).
Seri 3xx.x mengandung sedikit Cu, sehingga ketahanan korosinya kurang dibanding
seri 4xx.x ataupun 5xx.x. Permasalahan terjadi pada paduan alumunium casting dengan kekuatan tinggi seperti
seri 7xx.x (Al-Zn-Mg) dan pada paduan Al-Mg 520 yang diperlakukan temper T4.
Untuk paduan tersebut, perlu diperhatikan beberapa faktor seperti casting design, stress saat perakitan dan perawatan, juga antisipasi kontak
dengan lingkungan.